Senin, 04 April 2011

Saya Bertanya, Apakah Pagi Akan Datang...

TSUNAMI JEPANG

 
REUTERS Tak ada tempat untuk lari. Gelombang besar air hitam berbusa melewati tanggul di Miyako.

KETIKA gempa hebat mengguncang Jepang utara pada 11 Maret dan menimbulkan tanda peringatan tsunami di pelabuhan perikanannya di Pantai Pasifik, Takako Suzuki yang pegawai negeri tahu betul ke mana dia harus pergi berlindung.
Setidaknya, dia kira dia tahu. Suzuki (40) mengikuti instruksi yang disiarkan melalui pengeras suara dan menuju ke lantai tiga balai rakyat yang telah ditetapkan kotanya, Rikuzentakata, sebagai titik evakuasi tsunami.
Saat dia berlari menaiki anak tangga, tsunami setinggi 14 meter menghantam memasuki gedung itu. Air hitamnya yang berputar menelan orang-orang di sekitarnya.
”Air hitam memasuki gedung melalui jendela-jendela dengan suara menderam. Saya tak berdaya dilempar ke sana kemari oleh air itu. Saya bahkan tidak ingat bagaimana saya tersapu,” ujar Suzuki.
Dia tersadar berada dalam kelompok 12 orang. ”Kami terbawa ke sebuah ruang di mana air terus naik sampai sekitar 10 sentimeter dari langit-langit,” kata Suzuki kepada wartawan-wartawan Reuters yang disertainya kembali ke tempat kejadian perjuangan hidup-matinya tiga pekan sebelumnya.
”Saya berpikir, ’kalau air naik sedikit lagi, habislah saya’. Namun, untungnya air tiba-tiba berhenti naik dan mulai surut,” ujarnya.
Kedua belas korban yang bertahan hidup, masih setengah terendam saat malam tiba dan angin dingin bertiup melalui jendela-jendela yang bolong, berkerumun bersama. Di sekitar mereka terkapar jenazah-jenazah korban tewas.
”Gedung itu bergerak miring karena masih penuh dengan air dan gempa susulan terus mengguncang bangunan itu, menyebabkan puing-puing menjatuhi kami. Itu menakutkan,” kata Suzuki.
”Kami bertanya-tanya apakah pagi akan pernah datang, apakah bantuan akan pernah datang,” katanya.
Cobaan bagi mereka itu berakhir hampir 24 jam kemudian ketika Suzuki dan 10 orang lainnya diambil dari gedung tersebut oleh sebuah helikopter penyelamat yang dioperasikan Pasukan Bela Diri, militer Jepang. Salah seorang dari kedua belas orang itu, pria lanjut usia, tewas pada malam hari.
Suzuki memperkirakan bahwa kelompoknya, yaitu 11 orang yang selamat itu, ada di antara 60 orang yang berlindung di balai rakyat tersebut. Majalah Jepang, AERA, melaporkan 100 orang mencari perlindungan di sana. ”Ini sebuah misteri bagi saya bagaimana saya masih hidup,” katanya.
”Saya pikir waktu itu saya akan mati, tetapi saya ibu tiga anak sehingga saya bertahan hanya dengan memikirkan bahwa saya ingin melihat anak-anak saya lagi,” kata Suzuki, suaranya yang tenang tiba-tiba memecah.
Rikuzentakata, salah satu kota yang paling parah terkena dari sepanjang lebih dari 250 kilometer garis pantai Jepang yang terkena, menghitung ada 1.066 korban tewas dan 2.041 hilang dari 23.000 penduduk.
Rumah keluarga Suzuki terletak di ketinggian dan tak terkena tsunami yang meratakan tempat kerjanya. Suzuki bergabung dengan rekan-rekannya dan sukarelawan untuk membantu 160 orang di tempat penampungan. ”Hidup saya telah diberikan kembali kepada saya,” katanya. (Reuters/DI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar