Rabu, 20 April 2011

Tahun Ini Gaji Naik 7-11 Persen?


IGNATIUS SAWABI Ilustrasi.

JAKARTA, KOMPAS.com - Pertumbuhan ekonomi yang positif dengan prediksi tingkat inflasi sebesar 3 persen dan nilai tukar rupiah yang stabil, merupakan indikasi positif bagi kenaikan gaji di Indonesia. 
Kelly Services Indonesia, yang merupakan perusahaan jasa dalam bidang ketenagakerjaan, memprediksi kenaikan gaji antara 7-11 persen di seluruh industri di Indonesia. 
Faktor gaji memang menjadi salah satu faktor kunci dalam ketenagakerjaan bahkan bagi pertumbuhan industri suatu negara. "Isu lain yang kita kuatirkan adalah eskalasi gaji, kompensasi, tanpa kemampuan bersaing dalam peningkatan produktivitas," jelas Vice President Asia Pacific Kelly Services Dhirendra Shantilal, di Jakarta, Selasa ( 19/4/2011 ).
Dhirendra menekankan bahwa gaji akan cenderung naik, bahkan tumbuh cepat. Namun, kenaikan gaji harus diikuti dengan kenaikan produktivitas.
Faktor gaji memang hal yang sensitif khususnya di sektor industri, karena banyak perusahaan yang mulai mencari tempat yang menawarkan produksi berbiaya rendah. "Perusahaan akan mulai mencari dimana tempat yang akan menawarkan biaya produksi yang rendah," jelasnya, sembari memberikan contoh di mana banyak perusahaan call-center telah berpindah dari India ke Filipina. 
Ia pun menyebutkan, Indonesia termasuk tempat di mana industri akan terus tumbuh, khususnya dengan faktor kuantitas tenaga kerja yang besar sebagai daya tarik bagi perusahaan asing, selain faktor biaya. "Saya pikir karena populasi penduduk Indonesia, (dan) karena sistem edukasi, ekonomi Indonesia akan terus tumbuh," jelasnya.
Namun, ia mengingatkan, stabilitas politik akan menjadi tantangan tersendiri bagi pertumbuhan ekonomi, yang perlu diperhatikan.

Penyebab Ulat Bulu Sudah Terdeteksi

Imanuel More | I Made Asdhiana | Selasa, 19 April 2011 | 22:00 WIB

k20-11 Rokhim, saat menunjukkan koloni ulat bulu di Dusun Mbatan, Desa Blaru, Kecamatan Badas, Kabupaten Kediri Rabu (13/4/2011).
JAKARTA, KOMPAS.com — Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Pertanian Kementerian Pertanian Haryono menyatakan, penyebab meningkatnya populasi ulat bulu di sejumlah daerah di Tanah Air sudah bisa disimpulkan.

"Dinamika peningkatan populasi ulat bulu penyebabnya kurang lebih sudah convergent (memusat) pada perubahan ekosistem, baik yang hayati (biotik) maupun nonhayati (abiotik)," ungkap Haryono.
Hasil penelitian Balitbang Pertanian terhadap sejumlah contoh spesies ulat bulu yang diperoleh dari berbagai lokasi menunjukkan adanya faktor penyebab yang sama, yakni perubahan ekosistem. Hal ini diperkuat oleh kajian peneliti dan akademisi bidang entomologi (serangga) dari lembaga terkait, seperti LIPI dan IPB. Para pakar serangga se-Indonesia yang dikumpulkan Balitbang Pertanian juga memberikan kesimpulan yang sama.
Perubahan ekosistem yang dimaksud, lanjut Haryono, telah menyebabkan hilangnya faktor keseimbangan alami untuk sementara waktu. "Sebagai suatu sistem, alam juga memiliki komponen-komponen yang menciptakan keseimbangan. Saat salah satu komponen mengalami gangguan, keseimbangan itu akan terganggu. Begitu juga dengan yang terjadi dengan famili Limantriidae (ulat bulu) saat ini," papar Haryono.
Fenomena meningkatnya populasi ulat bulu, faktor hayatinya disebabkan berkurangnya pemangsa alaminya, seperti burung, kelelawar, dan semut rangrang, dan musuh alaminya, misalnya parasitoid.
Berkurangnya pemangsa alami dan peningkatan ulat bulu juga dipengaruhi unsur nonhayati. Perubahan iklim global menjadi faktor utama. Akibat adanya perubahan iklim, terjadi perubahan suhu dan kelembaban udara. "Semua makhluk hidup punya kemampuan adaptasi terhadap perubahan alam yang terjadi."
"Perubahan suhu dan kelembaban udara bisa saja mengakibatkan pemangsa alami ulat bulu berkurang, sebaliknya ulat bulunya meningkat. Tapi, ini tidak akan berlangsung lama karena alam punya mekanisme penyeimbang," terang Haryono.
Menurutnya, pemangsa alami dan faktor penyeimbang hayati lainnya akan kembali berfungsi normal dan dinamika populasi ulat bulu akan kembali normal sebagaimana sebelumnya.
Ia mencontohkan, Balai Penelitian Perkebunan di Bogor yang kerap mengalami peningkatan populasi ulat bulu pada periode tertentu. Hal itu, kata Haryono, akan kembali normal secara alami. Oleh karena itu, ia meminta warga yang dilanda merebaknya ulat bulu untuk tidak terlalu terpengaruh fenomena tersebut.
Selain alasan di atas, Haryono menyebutkan sejumlah alasan lain.
Habitat ulat bulu sudah ada pada lingkungan tertentu karena serangga ini adalah bagian dari ekosistem yang memiliki manfaat bagi lingkungannya. Yang lazim terjadi adalah peningkatan populasi, bukan serangan ulat bulu. Sebab, jenis ini tidak memiliki kemampuan menyebar secara luas, sebagaimana wereng. "Kecuali jika ia terbawa secara tidak sengaja," ujar Haryono.
Ulat bulu juga tidak menyerang tanaman pangan. Yang menjadi inang alaminya adalah jenis tanaman tahunan seperti mangga. Lebih lagi, ulat bulu tidak menyebabkan inangnya mati atau terhenti berproduksi. "Karena ulat bulu tidak menyerang titik tumbuh inangnya, seperti wereng. Ia adalah jenis pemakan sejumlah jenis dedaunan," kata Haryono.
Ia menyebutkan, gangguan terhadap pohon-pohon mangga di Probolinggo, misalnya, tidak menghentikan produktivitas tanaman tersebut. "Saya memiliki foto-foto yang menunjukkan pohon-pohon mangga di sana (Probolinggo) sudah berbuah lagi," katanya.
Meski demikian, Haryono mengakui, spesies ulat bulu di Probolinggo memiliki kelebihan dalam siklus perkembangannya. "Yang lain siklusnya 28-30 hari. Kalau yang di Probolinggo lebih cepat dari itu," pungkas Haryono.

Selasa, 19 April 2011

Inilah Kurva Kebahagiaan


 

Telegraph

TEMPO Interaktif, Jakarta - Kebahagiaan mengikuti kurva berbentuk U selama masa hidup seseorang, menurut sebuah penelitian menunjukkan bahwa orang paruh baya adalah orang yang paling tidak bahagia.

"Kepuasan terhadap kehidupan mulai turun pada awal 20-an dan tidak pulih hingga usia 50," kata Bert van Landeghem, ekonom di Maastricht University di Belgia.

Sementara, orang dewasa muda hidup tanpa beban dan penuh harapan akan masa depan mereka, yaitu yang berusia di atas-50-an karena mereka telah berdamai dengan cobaan hidup. Penelitian itu menunjukkan bahwa mereka yang berada di usia tengah merasa terbebani oleh tuntutan pada diri mereka.

Studi ini menemukan bahwa "menurunnya kebahagiaan selama pertengahan kehidupan seseorang adalah setara dengan menjadi pengangguran atau kehilangan anggota keluarga".

Kesimpulan itu menyusul sebuah studi tentang bagaimana orang memandang kesejahteraan mereka.

Mr. van Landeghem, 29, akan menyajikan penelitiannya pada konferensi tahunan Royal Economic Society di Royal Holloway, University of London, pekan ini.

Sementara itu, ia mengatakan bahwa kebahagiaan kembali dengan bertambahnya usia. Dia memperingatkan bahwa orang tua tidak benar-benar merebut kembali semangat muda mereka. Mereka hanya belajar untuk menjadi puas dengan nasib mereka.

"Kurva kebahagiaan berbentuk U tidak selalu berarti bahwa seseorang berusia 65 tahun lebih menyukai hidupnya dibandingkan kehidupan seseorang berusia 25 tahun," katanya. "Mereka yang berusia 25 tahun dan 65 tahun setuju bahwa lebih baik menjadi 25 daripada menjadi 65. Tapi, seseorang berusia 65 tahun mungkin lebih puas karena ia telah belajar untuk menjadi puas dengan apa yang ia miliki. "

"Studi di seluruh dunia telah menunjukkan bahwa kebahagiaan cenderung menurun di usia setengah baya," katanya, "dan ini bukan hanya terbatas pada fenomena dunia Barat."

Bulan lalu, Lewis Wolpert, profesor emeritus biologi di University College London, mengatakan kebahagiaan bisa mencapai puncak hingga akhir usia 80. Dalam buku berjudul You're Looking Very Well, Prof Wolpert mengatakan kebanyakan orang "rata-rata bahagia" di usia remaja dan 20-an, tapi ini menurun sampai usia pertengahan dini ketika mereka berusaha untuk mendukung keluarga dan karir.

Dia menambahkan, "Dari pertengahan 40-an, orang cenderung menjadi lebih ceria dan optimistis, mungkin mencapai maksimum di 70 akhir atau 80-an."

"Pengurangan tanggung jawab usia pertengahan, kedewasaan, dan fokus pada hal-hal yang dinikmati berkontribusi pada tren itu," katanya.

Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh American National Academy of Sciences, berdasarkan survei terhadap 341 ribu orang, kenikmatan hidup memasuki tren meningkat pada akhir 40-an dan tidak mencapai puncak hingga usia 85.

Orang tua saat ini bisa mendapatkan keuntungan dari kesehatan dan peluang yang lebih baik dari generasi sebelumnya dan penelitian juga menunjukkan bahwa kemampuan bahasa dan membuat keputusan meningkat dengan peningkatan usia.

Kemampuan kita untuk berkonsentrasi pada bagian-bagian dari kehidupan dan kegiatan yang kita nikmati dan mengurangi hal-hal yang tidak kita sukai, juga dikatakan meningkat dengan perjalanan usia.

Sementara itu, populasi yang menua berarti meningkatnya jumlah orang dewasa paruh baya yang terperangkap antara tanggung jawab membesarkan anak-anak mereka dan merawat orang tua mereka.

TELEGRAPH | ERWIN Z.

Ba'asyir dan 'Sandal Buaya Amerika'


Terdakwa Abu Bakar Ba'asyir menunggu sidang terkait kasus dugaan tindak terorisme di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, (13/4). TEMPO/Yosep Arkian

TEMPO Interaktif, Jakarta - Ada yang menarik dalam penampilan Amir Jamaah Anshorut Tauhid Abu Bakar Baasyir selama menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan beberapa pekan terakhir. Tak terkecuali hari ini, Senin 18 April 2011.
Ustad Baasyir, begitu ia biasa disapa, mengenakan sandal karet berlogo buaya yang populer dengan merek Crocs. Sandal trendi yang ringan di kaki itu buatan Amerika Serikat, negeri yang berulang kali disebut Baasyir sangat dibenci karena praktik zionisnya.
Diproduksi Crocs Inc yang didirikan George B. Boede3cker, Jr, sandal yang pabriknya ada di California, Amerika ini kini masih jadi tren di Indonesia.
Lalu, apa jawaban Baasyir ketika ditanya wartawan, mengapa ia memakai sandal produksi negara yang disebut sebagai 'Firaun' itu. Pengasuh Pondok Pesantren Ngruki, Sukoharjo itu mengaku punya alasan.
"Enggak masalah. Lho, kalo sandal itu masalah dunia, boleh saja" kata Baasyir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. " Jadi, boleh saja kami memakai alat mereka. Selama tidak diharamkan, asalkan jangan keyakinan "
Menurut Baasyir, untuk urusan dunia, umat Islam boleh kerja sama dengan Amerika. “Asalkan Amerika enggak ganggu Islam" kata Baasyir. "Tapi, untuk mengatur hidup, ini pakai hukum Allah, “
Sandal krem dengan sentuhan sedikit putih itu memang cukup mencolok. Terutama dengan kostum Baasyir dengan sarung dan baju gamis putih yang jadi seragam Baasyir. Toh, Pengasuh Pondok Pesantren Ngruki itu terlihat nyaman dengan penampilannya. Sesekali, kakinya digoyang-goyang sembari menunggu persidangan kasus terorisme yang membelitnya.
WDA | MARTHA RUTH TERTIANA

Senin, 11 April 2011

Wakil Rakyat Tidak Memikirkan Rakyat

Gedung Baru DPR

Heru Margianto | Senin, 11 April 2011 | 09:11 WIB


TRIBUN NEWS/DANY PERMANA Pengunjung melintasi halaman depan Gedung DPR/MPR-RI Senayan, Jakarta, Kamis (7/4/2011). DPR berencana membangun gedung baru senilai sekitar Rp 1,2 triliun untuk mengganti gedung lama yang dianggap sudah rusak dan tak layak huni. Namun, rencana tersebut mendapat penolakan dari berbagai kalangan karena dinilai sebagai penghamburan uang rakyat.
KOMPAS.com - Dewan Perwakilan Rakyat memang sudah memutuskan untuk melanjutkan pembangunan gedung barunya, yang senilai Rp 1,138 triliun. Meskipun tidak semua fraksi dan anggota DPR sependapat, suara rakyat terasa tak didengar oleh mereka yang mengaku wakil rakyat tersebut. Bahkan, sinyalemen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang penghematan anggaran juga seperti angin lalu bagi sebagian besar anggota DPR.

Walaupun demikian, penolakan terhadap rencana pembangunan gedung baru DPR itu terus mengalir. Bukan hanya dilakukan sebagian wakil rakyat, politikus, aktivis, dan akademisi, tetapi juga oleh rakyat kecil. Mereka, meski jauh dari ingar bingar politik, ikut memantau rencana DPR menggunakan dana yang dihimpun dari rakyat untuk membangun gedung baru.
Jika merasakan kondisi rakyat yang kini masih hidup susah, tentu tak seorang pun menyetujui penghamburan uang negara. Penjual roti di Jakarta Barat, Dedi Jumaidi (41), misalnya, menyayangkan sikap DPR yang tak peduli pada suara rakyat. Dedi dan sejumlah temannya, yang harus berkeringat mengayuh gerobak roti hanya untuk mendapatkan beberapa rupiah per hari, juga ingin diperhatikan wakil mereka.
Kuduna mah dibagikeun wae ka rakyat (Seharusnya dibagikan saja kepada rakyat),” ujar Dedi, yang kelahiran Bogor, soal uang yang akan dipakai untuk membangun gedung baru DPR.
Seorang warga Cengkareng, Jakarta Barat, Ade LP (22), merasa DPR konyol jika membangun gedung baru, padahal gedung lama masih ada dan layak. Ade, yang bertugas sebagai penjaga keamanan perumahan di Jakarta Utara, mengibaratkan DPR sebagai warga serakah yang sudah mempunyai rumah bagus, tetapi masih membangun rumah baru.
Hal ini diperparah oleh kondisi rakyat Indonesia yang masih miskin. Ade pun kesulitan memiliki rumah sendiri. Dengan gaji yang tak seberapa, ia hanya mampu menyewa sebuah kamar indekos.
Pake yang ada saja enggak beres (kerjanya),” ujar Ade, yang sejak lama mengikuti rencana pembangunan gedung baru DPR melalui koran dan televisi.
Pedagang nasi di sekitar pusat perbelanjaan mewah di Jakarta Pusat, Atiek (55), menambahkan, DPR seharusnya melihat kondisi rumah rakyat kecil di permukiman padat. ”Neng Jakarta iku, wis omahe cilik men, urip yo susah. Sembarang larang. Iki maneh, jare wakil rakyat, tapi ora mikir rakyat (Di Jakarta, sudah rumah sangat kecil, hidup susah. Semua mahal. Ini katanya wakil rakyat, tetapi tak memikirkan rakyat),” ujar warga asal Jombang yang tinggal di Kebonkacang, Jakarta, itu.
Ketua DPR Marzuki Alie boleh saja mengatakan rakyat kecil tak perlu diajak bicara soal rencana pembangunan gedung baru DPR. Meski pusing memikirkan urusan perut, mereka peduli pada perilaku wakil rakyat.

Senin, 04 April 2011

Apa Alasan Kita Bekerja?

 

"Work is about a search for daily meaning as well as daily bread, for recognition as well as cash, for astonishment rather than torpor; in short, for a sort of life rather than a Monday through Friday sort of dying." - Studs Terkel, author & broadcaster
“Apakah alasan kamu bekerja?” tanya Anto, seorang karyawan swasta, kepada Budi, teman kerjanya. Budi, yang menganggap pertanyaan itu bersifat retoris menjawabnya dengan enggan, “Menurut kamu? kamu pikir saya senang makan batu yah?” Jawaban Budi pada percakapan imajiner di atas mungkin agak ‘nyeleneh’ tetapi di balik jawaban ini adalah salah satu alasan bekerja yang paling sering kita dengar, yaitu untuk mencari uang demi penghidupan yang layak.
Alasan kita bekerja pun mungkin tidak jauh dari itu tetapi apakah uang adalah satu-satunya alasan mengapa orang bekerja? Menurut Dave Ulrich, ‘The Number 1 Management/HR Guru’ versi majalah BusinessWeek dan Wendy Ulrich dalam buku The Why of Work, jawabannya adalah tidak. Selain uang, alasan lainnya adalah pencarian makna.
Karyawan tidak lagi bekerja untuk sekedar membuat asap dapur tetap mengebul. Dalam mencari tempat bekerja, mereka kini juga mementingkan faktor-faktor non uang, seperti kesesuaian pekerjaan dengan minat, kesempatan untuk bertumbuh dan dampak yang berarti bagi orang lain: rekan, pelanggan, dan masyarakat. Melalui pekerjaan, mereka menginginkan tercapainya tujuan hidup, berkontribusi, menjalin hubungan, membuat sesuatu yang bernilai dan mendapatkan harapan.
Penciptaan makna bekerja bagi para karyawannya merupakan hal yang harus dilakukan organisasi yang ingin bertumbuh. Hal ini mungkin terkesan ganjil, khususnya untuk para eksekutif yang berpikir bahwa memberikan gaji adalah satu-satunya kewajiban perusahaan kepada karyawan.
Tetapi ada logika di balik penjelasan tersebut: karyawan yang memiliki makna dalam bekerja akan lebih kompeten, berkomitmen, dan berkontribusi. Kompetensi, komitmen, dan kontribusi karyawan akan meningkatkan kepuasan dan komitmen pelanggan.
Komitmen pelanggan akan menciptakan hasil keuangan yang baik bagi perusahaan. Dengan logika ini, kita dapat melihat bahwa penciptaan makna bagi karyawan bukanlah sekedar membantu karyawan untuk memiliki sikap positif dalam bekerja tetapi juga demi pertumbuhan perusahaan.
Di dalam buku The Why of Work, Dave Ulrich, mendefinisikan organisasi yang menciptakan makna sebagai organisasi yang berkelimpahan (abundant organization). Sebuah organisasi yang berkelimpahan adalah sebuah tempat di mana para karyawan bekerja untuk menciptakan makna bagi diri mereka sendiri, nilai bagi para stakeholders dan harapan bagi masyarakat luas.
Organisasi yang berkelimpahan mendorong karyawannya untuk memiliki makna dalam bekerja dan menciptakan lingkungan yang memungkinkan hal tersebut bertumbuh kembang. Era dimana istilah-istilah seperti Generation Y, War for Talent, Employee Engagement, dan Individual Performance Management kini menjadi istilah yang semakin tidak asing.
Konsep yang ditawarkan Dave Ulrich merupakan angin segar yang dijadikan petunjuk dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi di dunia yang pada akhirnya akan berpengaruh pada aspirasi karyawan dan cara mereka memaknai pekerjaan.
Melalui buku The Why of Work, Dave Ulrich menjabarkan berbagai prinsip-prinsip praktis dalam menciptakan makna dalam organisasi, baik di level individu, tim, maupun perusahaan yang berdasarkan pada hasil-hasil riset serta melengkapinya dengan checklist dan kuesioner untuk mengubah aspirasi menjadi tindakan. Kini ada banyak organisasi kelas dunia yang menyadari pentingnya penciptaan makna dalam bekerja telah memulai perjalanan mereka dalam mengimplementasikan konsep Abundant Organization, bagaimana dengan organisasi anda?

Saya Bertanya, Apakah Pagi Akan Datang...

TSUNAMI JEPANG

 
REUTERS Tak ada tempat untuk lari. Gelombang besar air hitam berbusa melewati tanggul di Miyako.

KETIKA gempa hebat mengguncang Jepang utara pada 11 Maret dan menimbulkan tanda peringatan tsunami di pelabuhan perikanannya di Pantai Pasifik, Takako Suzuki yang pegawai negeri tahu betul ke mana dia harus pergi berlindung.
Setidaknya, dia kira dia tahu. Suzuki (40) mengikuti instruksi yang disiarkan melalui pengeras suara dan menuju ke lantai tiga balai rakyat yang telah ditetapkan kotanya, Rikuzentakata, sebagai titik evakuasi tsunami.
Saat dia berlari menaiki anak tangga, tsunami setinggi 14 meter menghantam memasuki gedung itu. Air hitamnya yang berputar menelan orang-orang di sekitarnya.
”Air hitam memasuki gedung melalui jendela-jendela dengan suara menderam. Saya tak berdaya dilempar ke sana kemari oleh air itu. Saya bahkan tidak ingat bagaimana saya tersapu,” ujar Suzuki.
Dia tersadar berada dalam kelompok 12 orang. ”Kami terbawa ke sebuah ruang di mana air terus naik sampai sekitar 10 sentimeter dari langit-langit,” kata Suzuki kepada wartawan-wartawan Reuters yang disertainya kembali ke tempat kejadian perjuangan hidup-matinya tiga pekan sebelumnya.
”Saya berpikir, ’kalau air naik sedikit lagi, habislah saya’. Namun, untungnya air tiba-tiba berhenti naik dan mulai surut,” ujarnya.
Kedua belas korban yang bertahan hidup, masih setengah terendam saat malam tiba dan angin dingin bertiup melalui jendela-jendela yang bolong, berkerumun bersama. Di sekitar mereka terkapar jenazah-jenazah korban tewas.
”Gedung itu bergerak miring karena masih penuh dengan air dan gempa susulan terus mengguncang bangunan itu, menyebabkan puing-puing menjatuhi kami. Itu menakutkan,” kata Suzuki.
”Kami bertanya-tanya apakah pagi akan pernah datang, apakah bantuan akan pernah datang,” katanya.
Cobaan bagi mereka itu berakhir hampir 24 jam kemudian ketika Suzuki dan 10 orang lainnya diambil dari gedung tersebut oleh sebuah helikopter penyelamat yang dioperasikan Pasukan Bela Diri, militer Jepang. Salah seorang dari kedua belas orang itu, pria lanjut usia, tewas pada malam hari.
Suzuki memperkirakan bahwa kelompoknya, yaitu 11 orang yang selamat itu, ada di antara 60 orang yang berlindung di balai rakyat tersebut. Majalah Jepang, AERA, melaporkan 100 orang mencari perlindungan di sana. ”Ini sebuah misteri bagi saya bagaimana saya masih hidup,” katanya.
”Saya pikir waktu itu saya akan mati, tetapi saya ibu tiga anak sehingga saya bertahan hanya dengan memikirkan bahwa saya ingin melihat anak-anak saya lagi,” kata Suzuki, suaranya yang tenang tiba-tiba memecah.
Rikuzentakata, salah satu kota yang paling parah terkena dari sepanjang lebih dari 250 kilometer garis pantai Jepang yang terkena, menghitung ada 1.066 korban tewas dan 2.041 hilang dari 23.000 penduduk.
Rumah keluarga Suzuki terletak di ketinggian dan tak terkena tsunami yang meratakan tempat kerjanya. Suzuki bergabung dengan rekan-rekannya dan sukarelawan untuk membantu 160 orang di tempat penampungan. ”Hidup saya telah diberikan kembali kepada saya,” katanya. (Reuters/DI)