Kamis, 26 Mei 2011

Matematika BBM Bersubsidi

Ilustrasi. Foto: Koran SI
Ilustrasi. Foto: Koran SI
Sejak akhir tahun lalu, wacana pemerintah akan melakukan pembatasan penjualan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi terus bergulir.

Awalnya dikatakan pelarangan BBM bersubsidi akan didasarkan pada cc mesin kendaraan, kemudian tahun kendaraan, lalu semua kendaraan pribadi di daerah Jabodetabek.

Terakhir BBM bersubsidi hanya untuk motor dan angkutan umum dengan kartu khusus untuk membatasi pembelian mereka. Tanggal pemberlakuan juga sudah ditetapkan yaitu 1 April 2011. Namun, rencana ini pun kandas dengan alasan penghematan yang akan diperoleh tidak signifikan.

Akibatnya, konsumsi BBM bersubsidi jenis premium pada triwulan I tahun ini mencapai 7,88 juta kiloliter. Angka ini 1,94 persen melebihi kuota 7,73 juta kiloliter. Opsi pembatasan pun kembali bergulir bahwa hanya motor dan angkutan umum yang diperkenankan membeli BBM bersubsidi. Seluruh kendaraan pelat hitam untuk semua cc mesin dan tahun produksi tidak berhak memperoleh subsidi.

Naikkan Harga
Sejatinya, ada opsi mudah untuk mengurangi subsidi yaitu menaikkan harga BBM. Inilah alternatif utama yang diusulkan tim kajian bersama tiga universitas ternama yang ditunjuk pemerintah beberapa bulan lalu. Menaikkan harga BBM bersubsidi memang sangat tidak populer dan akan melesatkan inflasi.

Namun, negaranegara lain termasuk negara penghasil minyak nyatanya tidak melihat ada alternatif lain yang lebih baik. Bedanya negara kita dengan negara-negara itu adalah, di sini rasionalitas politik sering mengalahkan rasionalitas ekonomi.

Kita semua umumnya memahami perlunya dilakukan pengurangan subsidi BBM ini. Tanpa pembatasan, konsumsi BBM meningkat 10 persen setiap tahun. Akibatnya pos subsidi di APBN pun membengkak. Yang memprihatinkan, subsidi ini pada praktiknya salah sasaran dan juga tidak mendidik karena sebagian besar dinikmati kalangan menengah ke atas yang mempunyai satu atau lebih kendaraan pribadi.

Untuk menyehatkan APBN, pemerintah mesti berani mengambil keputusan kurang menyenangkan yaitu mengurangi atau menghilangkan subsidi terhadap komoditas dengan menaikkan harga BBM.

Alihkan subsidi itu untuk pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum seperti sekolah, rumah sakit, dan jalan raya. Jika memilih metode pembatasan penjualan yang tidak lain adalah menerapkan diskriminasi harga, pemerintah harus ekstra hati-hati terutama dalam pengawasan implementasinya. Sebagai orang yang pernah belajar teori harga atau ekonomi mikro, saya masih ingat betul tiga tingkat diskriminasi harga. Karena itu, saya skeptis akan keberhasilan program yang akan dilaksanakan ini.

Tiga Macam Diskriminasi Harga
Diskriminasi harga tingkat pertama adalah ketika harga yang ditawarkan ke setiap konsumen berbeda-beda, sesuai dengan kemampuannya. Walaupun seluruh produk dapat dijual pada harga Rp1 juta misalnya, produsen yang menerapkan diskriminasi ini akan berusaha menjual produknya di atas harga itu kepada beberapa konsumen. Mengapa harus dijual pada harga yang sama jika ada yang bersedia membayar Rp2 juta, Rp3 juta, dan seterusnya?

Contoh praktik diskriminasi ini adalah biaya masuk sekolah favorit dan iuran bulanannya yang diputuskan setelah pihak sekolah bertemu dan mewawancarai orang tua calon siswa. Dalam terminologi ekonomi mikro, produsen dikatakan berusaha meminimumkan surplus konsumen untuk memaksimumkan keuntungannya.

Kita juga mengenal diskriminasi harga tingkat dua, yaitu harga per unit yang lebih murah untuk kuantitas pembelian yang lebih banyak. Semakin besar volume pembelian, semakin rendah harga per unitnya. Ketika kita membeli produk apa pun di grosir, sangat sering kita ditawari diskon kuantitas atau diskriminasi harga tingkat dua ini.

Terakhir, diskriminasi harga tingkat tiga terjadi jika ada sedikitnya dua harga berbeda untuk dua atau lebih kelompok konsumen berbeda. Harga khusus tiket kereta api untuk para pensiunan dan harga khusus mahasiswa untuk seminar adalah beberapa contohnya.

Diskriminasi harga BBM juga masuk kelompok ini. Agar diskriminasi harga tingkat tiga ini efektif, ada syarat mutlak yang tidak boleh dilupakan yaitu produk dan jasa tersebut tidak dapat ditransfer ke orang lain atau dilakukan penjualan kembali (resale).

Dalam hal harga khusus pensiunan dan harga diskon bagi mahasiswa, resale tidak mungkin. Namun, pop corn atau Coca-Cola di bioskop tidak pernah dijual dengan harga khusus untuk pensiunan atau mahasiswa karena dapat dijual kembali dengan mudah.

BBM bersubsidi lebih mirip pop cornatau Coca-Cola daripada tiket kereta api atau tiket seminar. Karenanya, jika diterapkan diskriminasi harga untuk BBM, akan ada kesempatan melakukan arbitrage yaitu dengan resale. Jika Anda mempunyai motor atau kendaraan umum,Anda dapat membeli BBM bersubsidi pada harga Rp4.500 untuk dijual lagi pada harga Rp5.500 hingga Rp6.000 kepada pemilik kendaraan pribadi.

Jika kendaraan seseorang dapat berfungsi baik dengan premium, kecil kemungkinan dia bersedia menggunakan pertamax yang berharga dua kali lipatnya. Awal bulan ini harga pasar pertamax itu menembus Rp9.000 yaitu Rp9.050.

Jika dalam sehari Anda dapat menjual 200 liter, keuntungan harian Rp200 ribu–Rp300 ribu dapat Anda peroleh. Sopir kendaraan umum sangat mungkin lebih suka jualan BBM ini karena dapat untung lebih besar tanpa harus keluar keringat daripada harus bolak-balik cari penumpang.

Akibat adanya disparitas harga ini, pasar gelap BBM bersubsidi dipastikan akan menjamur. Akan sulit bagi pemerintah untuk mengawasi, apalagi meniadakan pasar gelap ini. Cukup bermodal motor atau kendaraan umum, siapa pun dapat berdagang BBM.

Orang kaya yang punya banyak mobil juga tidak akan hilang akal untuk memiliki atau menyewa motor atau angkutan umum agar dapat membeli BBM bersubsidi, lalu dipindahkan ke semua mobil lainnya. Tujuan pengurangan subsidi BBM pun tidak akan tercapai. Kesimpulannya, selain menyulitkan operator SPBU, kebijakan pembatasan BBM bersubsidi adalah kebijakan kurang cerdas karena adanya celah resale.

Sangat disayangkan jika pejabat ekonomi kita melupakan teori harga atau ekonomi mikro dasar dan lebih mengandalkan rasionalitas politik dalam memutuskan kebijakan ekonomi.

BUDI FRENSIDY
Penasihat Investasi dan Staf Pengajar FEUI

(Koran SI/Koran SI/ade)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar