Selasa, 31 Mei 2011

Kebijakan Dungu Membunuh Ekonomi

Agus Pambagio - detikNews

Kebijakan Dungu Membunuh Ekonomi
Jakarta - Sebuah kebijakan publik selayaknya dibuat melalui sebuah proses yang cukup panjang dan komprehensif sebelum ditetapkan dan diimplementasikan ke publik. Dalam proses pembuatan kebijakan publik, semua pemangku kepentingan yang terkait dengan kebijakan tersebut selayaknya sudah pernah diajak bicara oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Sehingga kelak berbagai dampak akibat implementasi kebijakan tersebut dapat diantisipasi.

Tanpa melalui proses yang baik dan bijak, jangan harap sebuah kebijakan akan bermanfaat bagi semua pemangku kepentingan. Kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta yang melarang truk angkutan barang berbagai ukuran untuk melintas jalan tol dalam kota, merupakan kebijakan bingung yang berdampak buruk pada perekonomian publik dan terjadinya pelanggaran hak azasi manusia (HAM).

Kebijakan yang diujicobakan pada saat KTT ASEAN awal Mei 2011 lalu ini, menurut Pemprov DKI Jakarta sukses mengurai kemacetan di ruas tol dalam kota. Berdasarkan keberhasilan tersebut, kebijakan pembatasan truk memasuki ruas jalan tol dilanjutkan, meskipun Kementerian Perhubungan tidak setuju. Semua truk angkutan barang dilarang melalui ruas jalan tol dalam kota kecuali pada pukul 22.00-05.00 WIB. Hal itu dilakukan agar kelancaran kendaraan pribadi tidak terganggu oleh truk angkutan barang yang berjalan layaknya siput.

Pertanyaan saya, sampai kapan ruas jalan tol dalam kota akan lancar pasca dilarangnya truk angkutan barang melalui ruas tersebut? Apakah pertumbuhan mobil baru di DKI Jakarta sebanyak 500 buah/hari bisa tetap membuat ruas tol dalam kota lancar terus? Apakah memang keberadaan truk menjadi penyebab utama kemacetan jalan tol dalam kota atau ada faktor lain? Mari kita urai secara singkat.

Kebijakan yang Tidak Bijak Merugikan Banyak Pihak

Kebijakan pelarangan truk memasuki ruas tol dalam kota pada pukul 05.00 sampai dengan 22.00 WIB sebenarnya tidak ada dalam 17 langkah yang ditetapkan oleh Kantor Wakil Presiden pada bulan September 2010 lalu. Kalaupun langkah Pemprov DKI Jakarta dipaksakan bisa saja dicantelkan pada langkah ke 16, yaitu: 'melakukan pengaturan jumlah kendaraan secara optimal dengan menggunakan instrumen yang ada'.

Sesuai dengan pernyataan pejabat Pemprov DKI Jakarta, bahwa berdasarkan hasil uji coba membuktikan bahwa dilarangnya truk pegangkut memasuki jalan tol dalam kota ternyata telah melancarkan arus lalu lintas. Kecepatan kendaraan meningkat dari 20 km/jam menjadi 80 km/jam. Tentu saja ini menggembirakan bagi para pemilik kendaraan pribadi namun menimbulkan tambahan penderitaan bagi sedikitnya 16.000 awak truk dan keluarganya.

Bagi Industri, kebijakan tersebut mengakibatkan ekonomi biaya tinggi karena harus menghitung ulang proses produksi untuk mengurangi kerugian, mulai dari menyediakan tambahan tempat penyimpanan produk sampai pengaturan buruh bagian pengiriman sampai memuat produk ke atas truk dan sebagainya. Bagi industri pangan dan agro kondisi ini merupakan bencana karena mereka harus berpacu dengan ketahanan produk yang mudah busuk.

Pertanyaannya, siapakah yang harus menanggun semua tambahan biaya yang timbul? Industrikah? Pemprov DKI Jakarta-kah? Pemilik trukkah? Atau siapa? Tentunya konsumen yang pada akhirnya harus menanggung tambahan biaya akibat kebijakan bingung tersebut melalui kenaikan harga jual. Harga akan semakin meningkat di tingkat pengecer jika barang atau produk langka karena kesulitan arus distribusi. Jadi jelas kebijakan dungu sangat merugikan ekonomi publik.

Pemprov DKI Jakarta lupa bahwa kebijakan tersebut juga membuat hidup rakyat kelas bawah yang bekerja sebagai awak truk semakin menderita. Mereka harus menanggung tambahan kebutuhan hidup yang tidak sedikit akibat jumlah 'rit' yang menurun dari 2 kali per hari menjadi hanya 1,25 kali per hari. Artinya biaya bertambah namun pendapatan bersih berkurang. Belum resiko mengalami tindak kekerasan warga Bodetabek yang merasa terganggu akibat banyaknya truk yang tiba-tiba melewati wilayah mereka.

Kemacetan di daerah penyangga DKI Jakarta akibat munculnya truk angkutan barang mencari jalan alternatif untuk sampai ke pelabuhan Tanjung Priok (seperti wilayah Kabupaten dan Kotamadya Tangerang, Kabupaten Tangerang Selatan serta Kabupaten Bogor) dapat memicu munculnya kerusuhan sosial (social unrest) antara awak truk dengan masyarakat karena jalan menjadi rusak dan kemacetan semakin parah.

Jadi sebenarnya pihak yang diuntungkan oleh kebijakan bingung Pemrov DKI Jakarta hanya pemilik kendaraan pribadi di Jabodetabek. Pemprov melupakan kepentingan rakyat kecil yang tidak mempunyai kendaraan pribadi dan para pekerja yang bekerja di industri dan jasa angkutan serta warga daerah penyangga DKI Jakarta. Jadi jelas Pemprov DKI Jakarta benar-benar telah melanggar HAM banyak pihak.

Carilah Penyebab Kemacetan Bukan Diputuskan Ngawur

Penyebab utama kemacetan tol dalam kota sebenarnya bukan hanya truk angkutan barang yang jalan terseok-seok tetapi lebih pada tidak kunjung selesainya JORR I sesi W2 akibat persoalan tanah. Jika W2 sudah selesai semua truk bisa langsung ke pelabuhan Tanjung Priok dari kawasan industri Cikarang dan sekitarnya serta dari Serang-Balaraja dan sekitarnya tanpa melalui ruas tol dalam kota.

Ketidakmampuan Kementerian PU menyelesaikan persoalan tanah ruas JORR I sesi W2, menyebabkan Pemprov DKI Jakarta mengeluarkan kebijakan bingung tersebut. Kebijakan tersebut dapat dimengerti sebagai keputusasaan gubernur atas tak kunjung tuntasnya masalah kemacetan lalu lintas di wilayah DKI Jakarta.

Bukti bahwa melarang truk melintas di tol dalam kota dapat memperlancar arus lalu lintas patut diduga akan dipakai sebagai alasan utama pemerintah membangun 6 ruas jalan tol dalam kota Jakarta seharga sekitar Rp 45 triliun yang sekarang tendernya sedang mati-matian dipersiapkan oleh Kementerian PU. Ada pembenaran bahwa pembangunan jalan tol akan memperlancar lalu lintas. Kalau benar maka ini keputusan dungu lainnya yang hanya ada di Indonesia.

Sebagai penutup saya hanya ingin sekali lagi mengingatkan pemerintah supaya jangan bermimpi untuk menanggulangi kemacetan lalu lintas di Jakarta melalui pelarangan lalu lintas tertentu dan membangun jalan tetapi bangunlah angkutan umum yang modern, aman, nyaman dan berjadwal.

Bagi kalangan pengusaha truk (Organda) saya mendukung rencana aksi mogok Anda jika Pemprov dan Pemerintah Pusat memang sudah tidak bisa diajak bicara lagi. Dan bagi pendukung kebijakan dungu yang membiayai demo baru-baru ini mohon sadar dan pikirkan kepentingan publik, jangan hanya kepentingan sendiri. Bagi pemilik mobil tolong nikmatilah kemacetan, seperti masyarakat yang juga menikmati sulitnya memperoleh angkutan umum. Salam.
*) Agus Pambagio adalah pemerhati kebijakan publik dan perlindungan konsumen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar