Jumat, 11 Februari 2011

Lelucon Buruk dari Senayan

  • BAHWA anggota Dewan Perwakilan Rakyat kerap dituding memamerkan kewenangannya sudah jamak diketahui khalayak. Tapi yang terjadi di Senayan, Senin pekan lalu, merupakan "pameran kuasa" yang keterlaluan. Dengan alasan dicari-cari, Komisi Hukum DPR mengusir dua pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, dari ruang rapat.
    Sejumlah anggota Dewan berkilah pengusiran itu cermin konsistensi sikap Senayan. Pada Oktober tahun lalu, Komisi Hukum memang menolak rencana deponering yang dirilis Pelaksana Tugas Jaksa Agung (waktu itu) Darmono. Mereka mendesak kasus Bibit-Chandra segera dilimpahkan ke meja hijau. Alasannya, tanpa pengadilan, Bibit dan Chandra akan terus diganggu. Menggunakan logika hukum sendiri, anggota DPR "meramalkan" deponering akan membuat kedua Wakil Ketua KPK itu menjadi "tersangka abadi". Sekarang, setelah Jaksa Agung Basrief Arief menandatangani keputusan deponering, "ramalan" DPR menjadi kenyataan. Gangguan muncul, tapi asal-muasalnya justru dari politikus Senayan sendiri.
    Karena itu, pengusiran ini lebih terasa sebagai pelampiasan kekesalan anggota DPR atas penangkapan 24 politikus Senayan oleh KPK ketimbang bentuk konsistensi bersikap. Kita tahu 24 tersangka itu terlibat skandal cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004.
    Di sinilah muncul sejumlah masalah. Pertama, tindakan berlebihan Komisi Hukum DPR menyiratkan mereka telah terjebak konflik kepentingan. Para politikus ini menggunakan kewenangannya sebagai anggota parlemen untuk membela kepentingan kolega mereka-yang kini ditahan-secara serampangan.
    Kedua, insiden ini menunjukkan sebagian anggota Dewan justru tidak konsisten dalam bersikap-kalau tak bisa dibilang plinplan. Pada Juni tahun lalu, anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil, dan anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Gayus Lumbuun, misalnya, secara terbuka menolak surat ketetapan penghentian penuntutan yang dikeluarkan Jaksa Agung dan meminta deponering. Sekarang sebagian anggota Dewan malah berteriak menolak deponering.
    Ketiga, Komisi Hukum DPR menerapkan standar ganda. Ketika sejumlah politikus Senayan tersangkut kasus hukum, mereka tetap boleh menghadiri sidang-sidang resmi parlemen. Meski sudah berstatus tersangka, politikus PDI Perjuangan, Panda Nababan, umpamanya, tak pernah diusir dari ruang sidang DPR.
    Keempat, penolakan DPR mengadakan rapat kerja dengan KPK justru melanggar Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal itu memberikan kewenangan kepada KPK untuk menggelar rapat koordinasi dengan semua lembaga yang berwenang melakukan pemberantasan korupsi. Pengusiran Bibit dan Chandra menghalangi KPK menjalankan kewenangan itu.
    Karena itulah keputusan Ketua KPK Busyro Muqoddas yang menolak hadir di Senayan tanpa didampingi kedua koleganya patut dipuji. Kepemimpinan lembaga ini memang bersifat kolektif kolegial. Soliditas kepemimpinan KPK adalah modal penting untuk bertahan menghadapi serangan politik DPR.
    Kita boleh geram menyaksikan lelucon tak lucu ini. Tapi sesungguhnya ada yang lebih mencemaskan. Bila DPR membela mereka yang didakwa menerima suap, artinya sebagian anggota Dewan itu tidak berdiri dalam barisan antikorupsi. Kelak rakyat akan menyaksikan: adakah mereka bagian dari solusi membersihkan wabah korupsi, atau justru bagian yang harus ikut dibersihkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar